Perkembangan Akuntansi Syariah

PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH

Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.

Dalam kaitan ini menarik disimak produk Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) Syariah yang sudah dihasilkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan disahkan per Mei 2002. PSAK ini diterapkan per 1 Januari 2003. Produk ini memang membawa ke era baru bagi industri keuangan di tanah air yang berprinsip syariah.

PSAK tersebut dinilai tidak konsisten dengan jiwa syariah khususnya dalam filosofinya. Sistem ini masih kental mengadopsi filosofi akuntansi konvensional yang menggunakan sistem acrual basis. Sistem ini kurang pas dengan jiwa syariah karena menempatkan pendapatan yang belum nyata dalam laporan keuangan.

Penerapan sistem cash basis sangat fundamental. Seperti halnya bank syariah tidak bisa mengalami negative spread karena menggunakan prinsip bagi hasil. Jadi kalau sistem cash basis ini dihilangkan, ciri akuntansi syariah ikut hilang.

Sistem akuntansi dasar akrual (acrual basis) tidak sensitif dalam mencegah terjadinya kejahatan keuangan. Kasus WorldCom, Enron, semula berawal dari sistem akuntansi akrual tersebut. Laporan keuangan mereka bagus, tapi cash flow mereka buruk. Itu terjadi, karena pendekatan dasar akrual memang membuka peluang kecurangan dalam pembukuan. Tragedi WorldCom terjadi karena akuntan memanfaatkan celah-celah dasar akrual, yang akhirnya merugikan para pemilik saham. Kebangkrutan tersebut terjadi karena banyak keuntungan yang masih berbentuk potensi dibukukan dan diakui sebagai pendapatan.

Terlepas dari kelemahan PSAK itu, yang jelas teori akuntansi syariah harus terus didukung untuk terus disempurnakan. Agar akuntansi tidak lagi bicara angka, tapi juga penegakan keadilan dan kebenaran. Dan, agar tidak ada lagi WorldCom-WorldCom lain yang menjadi ikon dari dongeng kebangkrutan.

Sejarah Akuntansi Syariah

Apabila kita pelajari sejarah Islam ditemukan bahwa setelah munculnya  Islam di Semenanjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang  akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara.

Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al-Qur’an menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang, yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan :

“Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem akuntansi, karena Al-Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494 M. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.

Dalam Al-Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al-Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi :

“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur/menakar tersebut, juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi :

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Pengertian Akuntansi Syariah

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.

Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :

“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”

Karena kerja membawa pada ke-ampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw :

“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)

Dari paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

Tujuan Akuntansi Syariah

Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.

Terdapat tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:

  1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
  2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
  3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:

a.    keselamatan keyakinan agama (al din)

b.    kesalamatan jiwa (al nafs)

c.    keselamatan akal (al aql)

d.    keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)

e.    keselamatan harta benda (al mal)

Bisnis syariah dewasa ini mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi tren baru dunia bisnis di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim maupun non muslim, perkembangan ini terutama terjadi di sektor keuangan. Perbankan Syariah dan produk-produknya telah beredar luas di masyarakat, Asuransi Syariah dan Reksadana Syariah juga sudah mulai bermunculan. Perkembangan bisnis syariah ini menuntut standar akuntansi yang sesuai dengan karakteristik bisnis syariah sehingga transparansi dan akuntanbilitas bisnis syariah pun dapat terjamin.

Apabila ingin membangun usaha yang sesuai syariah, pebisnis sudah harus memikirkan segala proses bisnis yang dijalankan sesuai syariah, termasuk dalam hal pembukuan, yang saat ini secara modern menggunakan istilah akuntansi. Seperti diutarakan Sofyan S Harahap, (Direktur Islamic Economic and Finance, Post Graduate Program, Universitas Trisakti), dalam sebuah seminar di Jakarta, akuntansi syariah berfungsi membantu manusia menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya dalam suatu perusahaan atau organisasi sehingga semua kegiatan tetap dalam keridhaan Allah SWT.

Sesuai kerangka teori yang ada, akuntansi syariah didasarkan kepada tauhid, tujuan, paradigma, konsep, prinsipnya harus sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu laporan keuangan akuntansi syariah berisi tentang laporan pelaksanaan syariah di perusahaan baik aspek produk maupun operasional, tanggung jawab perusahaan dan kinerja perusahaan.

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar :

  1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
  2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
  3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
  4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
  5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
  6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
  7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
  8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

Dasar Hukum Akuntansi Syariah

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari :

  1. Al Quran,
  2. Sunah Nabwiyyah,
  3. Ijma (kespakatan para ulama),
  4. Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu,
  5. ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.

Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
  2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
  3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
  4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
  5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
  6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
  7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Sedangkan perbedaan Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut :

  1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
  2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
  3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
  4. Konsep konvensional mempraktekkan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
  5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
  6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting“, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta-rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

Dari uraian di atas, dapat disebutkan bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional.

Perkembangan Akuntansi Syariah

Sejalan dengan mulai diberlakukannya ketentuan transparansi bagi perbankan syariah, selama tahun laporan telah dilakukan pertemuan dengan pihak Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang ditindaklanjuti dengan pemberian materi yang diperlukan pada pelatihan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia kepada para Akuntan Publik Indonesia dalam rangka memberikan pemahaman mengenai proses pelaksanaan pemenuhan ketentuan tersebut yang mulai berlaku untuk laporan keuangan tahun buku 2006.

Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap perbankan syariah sebelum mengeluarkan opini terhadap laporan keuangan, agar memperoleh pendapat terlebih dahulu dari Dewan Pengawas Syariah tentang kepatuhan bank syariah yang diawasinya.

Adanya laporan pengawasan syariah kepada stakeholders perbankan syariah dan keharusan untuk mendapatkan pendapat Dewan Pengawas Syariah bagi Akuntan Publik sebelum mengeluarkan opini terhadap laporan keuangan perbankan syariah yang diaudit, adalah merupakan salah satu usaha untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat dalam penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi Hal ini sesuai dengan salah satu sasaran akhir yang akan dicapai dalam revisi Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah tahun 2005 berupa terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah.

Dalam upaya untuk mendorong tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang seragam dan pengembangan produk yang selaras antara aspek syariah dan kehati-hatian, pada tahun laporan telah dilakukan pembahasan bersama pihak terkait didalam Komite Akuntansi Syariah dimana Bank Indonesia sebagai salah satu anggotanya bersama Ikatan Akuntan Indonesia dan pihak lainnya.

Komite Akuntansi Syariah bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia tahun 2007 telah mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk transaksi kegiatan usaha dengan mempergunakan akuntansi berdasarkan kaidah syariah. Berikut ini daftar Standar Akutansi Keuangan yang juga akan berlaku bagi perbankan syariah :

1.    Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah,

2.    PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah,

3.    PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah,

4.    PSAK 103 tentang Akuntansi Salam,

5.    PSAK 104 tentang Akuntansi Istishna’,

6.    PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah,

7.    PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah.

IAI sebagai lembaga yang berwenang dalam menetapkan standar akuntansi keuangan dan audit bagi berbagai industri merupakan elemen penting dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia, dimana perekonomian syariah tidak dapat berjalan dan berkembang dengan baik tanpa adanya standar akuntansi keuangan yang baik.

Standar akuntansi dan audit yang sesuai dengan prinsip syariah sangat dibutuhkan dalam rangka mengakomodir perbedaan esensi antara operasional Syariah dengan praktek perbankan yang telah ada (konvensional). Untuk itulah maka pada tanggal 25 Juni 2003 telah ditandatangani nota kesepahaman antara Bank Indonesia dengan IAI dalam rangka kerjasama penyusunan berbagai standar akuntansi di bidang perbankan Syariah, termasuk pelaksanaan kerjasama riset dan pelatihan pada bidang-bidang yang sesuai dengan kompetensi IAI.

Sejak tahun 2001 telah dilakukan berbagai kerjasama penyusunan standar dan pedoman akuntansi untuk industri perbankan syariah termasuk penyelesaian panduan audit perbankan syariah, revisi Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan revisi Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Dengan semakin pesatnya perkembangan industri perbankan syariah maka dinilai perlu untuk menyempurnakan standar akuntansi yang ada. Pada tahun 2006, IAI telah menyusun draft Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Draft ini diharapkan dapat ditetapkan menjadi standar pada tahun 2007.

Dalam penyusunan standar akuntansi keuangan syariah, dilakukan IAI dengan bekerjasama dengan Bank Indonesia, DSN serta pelaku perbankan syariah dan dengan mempertimbangkan standar yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah internasional yaitu AAOIFI. Hal ini dimaksudkan agar standar yang digunakan selaras dengan standar akuntansi keuangan syariah internasional.

Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah,

Tujuan dan Peranan

Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Tujuan kerangka dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi :

  1. penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan tugasnya;
  2. penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah;
  3. auditor, dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum;
  4. para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah

Ruang Lingkup

Kerangka dasar ini membahas:

  1. tujuan laporan keuangan;
  2. karakteristik kualitatif yang menentukan manfaat informasi dalam  laporan keuangan; dan
  3. definisi, pengakuan dan pengukuran unsur-unsur yang membentuk laporan keuangan.

Pemakai dan Kebutuhan Informasi

  1. Investor, mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan entitas syariah untuk membayar dividen.
  2. Pemberi dana qardh, pemberi dana qardh tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah dana qardh dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
  3. Pemilik dana syirkah temporer, pemilik dana syirkah temporer yang berkepentingan akan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk mengambil keputusan investasi dengan tingkat keuntungan yang bersaing dan aman.
  4. Pemilik dana titipan, pemilik dana titipan tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah dana titipan dapat diambil setiap saat.
  5. Pembayar dan penerima zakat, infak, sedekah dan wakaf. Pembayar dan penerima zakat, infak, sedekah dan wakaf, serta mereka yang berkepentingan akan informasi mengenai sumber dan penyaluran dana tersebut.
  6. Pengawas syariah, pengawas syariah yang berkepentingan dengan informasi tentang kepatuhan pengelola bank akan prinsip syariah.
  7. Karyawan, karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas entitas syariah. Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan entitas syariah dalam memberikan  balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja.
  8. Pemasok dan mitra usaha lainnya, pemasok dan mitra usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Mitra usaha berkepentingan pada entitas syariah dalam tenggang waktu yang lebih pendek daripada pemberi pinjaman qardh kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup entitas syariah.
  9. Pelanggan, para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup entitas syariah, terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada, entitas syariah.
  10. Pemerintah, pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah  kekuasaannya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena itu berkepentingan dengan aktivitas entitas syariah. Mereka juga membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas entitas syariah, menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.
  11. Masyarakat, entitas syariah mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, entitas syariah dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian  nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran entitas syariah serta rangkaian aktivitasnya.

Asas Transaksi Syariah

Transaksi syariah berasaskan pada prinsip :

  1. Persaudaraan (ukhuwah); Prinsip persaudaraan (ukhuwah) esensinya merupakan nilai universal yang menata interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara umum dengan semangat saling tolong menolong. Transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat (sharing economics) sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas kerugian orang lain. Ukhuwah dalam transaksi syariah berdasarkan prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saling menjamin (takaful), saling bersinergi dan beraliansi (tahaluf).
  2. Keadilan (‘adalah); Prinsip keadilan (‘adalah) esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur :

a.    riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadhl);

b.    kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan);

c.    maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);

d.    gharar (unsur ketidakjelasan); dan

e.    haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang terkait).

  1. Kemaslahatan (maslahah); Prinsip kemaslahatan (mashlahah) esensinya merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif. Kemaslahatan yang diakui harus memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah (halal) serta bermanfaat dan membawa kebaikan (thayib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudharatan. Transaksi syariah yang dianggap bermaslahat harus memenuhi secara keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa pemeliharaan terhadap :

a.    akidah, keimanan dan ketakwaan (dien);

b.    intelek (‘aql);

c.    keturunan (nasl);

d.    jiwa dan keselamatan (nafs); dan

e.    harta benda (mal).

  1. Keseimbangan (tawazun); Prinsip keseimbangan (tawazun) esensinya meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya menekankan pada maksimalisasi keuntungan perusahaan semata untuk kepentingan pemilik (shareholder). Sehingga manfaat yang didapatkan tidak hanya difokuskan pada pemegang saham, akan tetapi pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi.
  1. Universalisme (syumuliyah). Prinsip universalisme (syumuliyah) esensinya dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).

Karakteristik Transaksi Syariah

Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan azas transaksi syariah harus memenuhi karakteristik dan persyaratan sebagai berikut :

  1. transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha;
  2. prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib);
  3. uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas;
  4. tidak mengandung unsur riba;
  5. tidak mengandung unsur kezaliman;
  6. tidak mengandung unsur maysir ;
  7. tidak mengandung unsur gharar;
  8. tidak mengandung unsur haram;
  9. tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time valueof money) karena keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk);
  10. transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad;
  11. tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran (ihtikar); dan
  12. tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah).

Tujuan Laporan Keuangan

Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan  informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Disamping itu, tujuan lainnya adalah :

  1. meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha;
  2. informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip syariah, serta informasi aset, kewajiban, pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bila ada dan bagaimana perolehan dan penggunaannya;
  3. informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab entitas syariah terhadap amanah dalam mengaman-kan dana, menginvestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak; dan
  4. informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal dan pemilik dana syirkah temporer; dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban (obligation) fungsi sosial entitas syariah, termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat, infak, sedekah, dan wakaf.

Asumsi Dasar

  1. Dasar Akrual, Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pemakai tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga kewajiban pembayaran kas di masa depan serta sumber daya yang merepresentasikan kas yang akan diterima di masa depan. Oleh karena itu, laporan keuangan menyediakan jenis informasi transaksi masa lalu dan peristiwa lainnya yang paling berguna bagi pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha menggunakan dasar kas. Dalam hal prinsip pembagian hasil usaha berdasarkan bagi hasil, pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah keuntungan bruto (gross profit).
  2. Kelangsungan Usaha, Laporan keuangan biasanya disusun atas dasar asumsi kelangsungan usaha entitas syariah dan akan melanjutkan usahanya di masa depan. Karena itu, entitas syariah diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi secara material skala usahanya. Jika maksud atau keinginan tersebut timbul, laporan keuangan mungkin harus disusun dengan dasar yang berbeda dan dasar yang digunakan harus diungkapkan.

Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan

  1. Dapat Dipahami
  2. Relevan
  3. Materialitas
  4. Keandalan
  5. Penyajian Jujur
  6. Substansi Mengungguli Bentuk
  7. Netralitas
  8. Pertimbangan Sehat
  9. Kelengkapan
  10. Dapat Dibandingkan

Unsur-Unsur Laporan Keuangan

Sesuai karakteristik maka laporan keuangan entitas syariah antara lain meliputi :

  1. komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan komersial:

a.    laporan posisi keuangan;

b.    laporan laba rugi;

c.    laporan arus kas; dan

d.    laporan perubahan ekuitas.

  1. komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan sosial :

a.    laporan sumber dan penggunaan dana zakat; dan

b.    laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan.

  1. komponen laporan keuangan lainnya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung jawab khusus entitas syariah tersebut.

Posisi Keuangan

Unsur yang berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah aset, kewajiban, dana syirkah temporer dan ekuitas.

  1. Aset, adalah sumber daya yang dikuasai oleh entitas syariah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh entitas syariah.
  2. Kewajiban, merupakan hutang entitas syariah masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas syariah yang mengandung manfaat ekonomi.
  3. Dana Syirkah Temporer, adalah dana yang diterima sebagai investasi dengan jangka waktu tertentu dari individu dan pihak lainnya dimana entitas syariah mempunyai hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana tersebut dengan pembagian hasil investasi berdasarkan kesepakatan.
  4. Ekuitas, adalah hak residual atas aset entitas syariah setelah dikurangi semua kewajiban dan dana syirkah temporer

Kinerja

Penghasilan bersih (laba) seringkali digunakan sebagai ukuran kinerja atau sebagai dasar bagi ukuran yang lain seperti imbalan investasi (return on investment) atau penghasilan persaham (earnings per share). Unsur yang langsung berkaitan dengan pengukuran penghasilan bersih (laba) adalah penghasilan dan beban.

Unsur penghasilan dan beban didefinisikan sebagai berikut :

  1. Penghasilan (income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.
  2. Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.

Penghasilan dan beban dapat disajikan dalam laporan laba rugi dengan beberapa cara yang berbeda demi untuk menyediakan informasi yang relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi. Misalnya, pembedaan antara pos penghasilan dan beban yang berasal dan tidak berasal dari pelaksanaan aktivitas entitas syariah yang biasa (ordinary) merupakan praktek yang lazim. Pembedaan ini dilakukan berdasarkan argumentasi bahwa sumber suatu pos adalah relevan dalam mengevaluasi kemampuan entitas syariah untuk menghasilkan kas (dan setara kas) di masa depan; misalnya, aktivitas insidental seperti pengalihan investasi jangka panjang tampaknya tidak akan terjadi secara reguler.

Pada waktu membedakan pos dengan cara ini perlu dipertimbangkan hakekat entitas syariah dan operasinya. Pos yang timbul dari aktivitas yang biasa bagi suatu entitas syariah mungkin tidak biasa bagi entitas syariah dan entitas lain. Pembedaan antara pos penghasilan dan beban dan penggabungan pos tersebut dengan cara berbeda juga memungkinkan penyajian beberapa ukuran kinerja entitas syariah, masing-masing dengan derajat cakupan yang berbeda. Misalnya, laporan laba rugi dapat menyajikan laba kotor, laba bersih dari aktivitas biasa sebelum pajak, laba bersih dari aktivitas biasa setelah pajak, dan laba bersih.

Hak Pilih Ketiga atas Bagi Hasil

Hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syirkah temporer adalah bagian bagi hasil pemilik dana atas keuntungan dan kerugian hasil investasi bersama entitas syariah dalam suatu periode laporan keuangan. Hak pihak ketiga atas bagi hasil tidak bisa dikelompokan sebagai beban (ketika untung) atau pendapatan (ketika rugi). Namun, hak pihak ketiga atas bagi hasil merupakan alokasi keuntungan dan kerugian kepada pemilik dana atas investasi yang dilakukan bersama dengan entitas syariah. (/FA)

 

About Just_Fal

I'm a simple man
This entry was posted in Paper. Bookmark the permalink.

6 Responses to Perkembangan Akuntansi Syariah

  1. Sri Fadhilah says:

    Assalamu’alaikum Wr Wb…
    sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada penulis karena saya banyak lebih tahu tentang akuntansi syariah secara spesifik. tapi pada tulisan yang bapak buat ada yang belum saya fahami,yaitu tentang karakteristik kualitatif laporan keuangan dan tentang PSAK..tolong dijelaskan!!
    terima kasih…
    Wassalam…

  2. danke says:

    makasih mas informasinya..
    btw
    ada ga kira2 yang ngupload PSAK no 106 sama PSAK 59
    butuh buat skripsi

    salam djpb
    hehe

  3. benink says:

    mas puna Buku na tentang PAPSI yang 2008 gag?? aku lg nyari wat referensi skripsi ku. makasih bgt ya mas

  4. yuko says:

    bukannya ini udah diterbitkan di toko buku…
    aq dah pernah lihat…

  5. Aim says:

    Ass. maz lo mw nyari PSAK tu di mana ya, khususnya PSAK 106, q mw downld tp ga nemu juga

Leave a comment